Sabtu, 02 Januari 2016

SUKSES DENGAN BISNIS MUTIARA

Oleh :Zainal Arifin*
*Wartawan Surabaya Post
 
SCREENSHOT TULISAN DI https://infopijar.wordpress.com (editor Karibo)
ARUISLANDSnew.- Robert Sukendy benar-benar memiliki mental dan jiwa sebagai pengusaha. Pria yang dikenal sebagai pengusaha mutiara ini membesarkan bisnis mutiaranya berawal dari rasa ingin tahu yang sangat besar dan semangat belajar usaha budidaya mutiara secara otodidak. Tak hanya itu, dengan berbisnis mutiara, Robert juga melestarikan lingkungan. 

“Hanya orang yang mau kerja keras yang mampu membudidayakan kerang mutiara ini,” ujar Robert Sukendy saat ditemui Surabaya Post di kantornya di Surabaya, beberapa waktu lalu.
Pria yang kini telah berusia 61 tahun ini mengatakan, semua bisnisnya pada awalnya dilakukannya seorang diri. Ia mengaku kunci sukses untuk budidaya kerang mutiara adalah kerja keras, kerja keras dan kerja keras.

Berawal dari rasa ingin tahu yang besar bagaimana proses terciptanya mutiara, beberapa puluh tahun lalu, Robert serius bertanya ke sana kemari pada sejumlah kenalannya di Kepulauan Aru, Maluku, tempat dimana banyak dilakukan budidaya mutiara.
“Selama 40 tahun lalu saya tinggal di Kepulauan Aru, di situ terdapat budidaya mutiara oleh perusahaan Jepang. Saya lihat dan mulai tertarik bagaimana orang membuat mutiara. Saya lantas bertanya-tanya kepada teman bagaimana proses terciptanya mutiara,” ujar pria kelahiran Tual Maluku Tenggara ini.

Karena melihat rasa ingin tahu Robert yang begitu besar, salah seorang temannya dari Perancis pun memberinya buku cara budidaya kerang mutiara. Tak hanya itu, kala itu Robert juga dimotivasi oleh teman lainnya. “Namanya Daniel de Cooper. Ia beri saya buku cara untuk budidaya kerang mutiara. Ia bilang kalau orang Mikimoto (Jepang) bisa, kenapa saya tidak,” ujar bapak lima anak ini.

Berawal dari buku pemberian teman dan kebulatan tekadnya, Robert pun mulai bereksperimen menciptakan mutiara. Pertama kali ia bereksperimen membuat half pearl. Eksperimennya itu baru bisa dipanen setelah satu tahun berjalan. Hasil panen pertamanya ia gunakan sebagai modal untuk bereksperimen membuat mutiara lagi. 

Robert yang kini lebih sibuk mengurusi hotelnya ini menceritakan kalau eksperimen pertamanya sama sekali dilakukan tanpa modal. Ia mengaku modalnya hanya dengan mengambil kerang mutiara langsung dari laut. “Saat itu kerang mutiara masih banyak di laut, kalau sekarang kan sudah jarang,” ujar pemilik sebuah hotel di daerah asalnya, Maluku.

Pada saat panen pertama, kata Robert, harga mutiara jenis South Sea yang paling banyak dihasilkan di Indonesia, harganya lumayan tinggi. “Harganya waktu itu mencapai 50.000 yen (Rp 5,4 juta dengan satu yen setara Rp 108/momenya, kalau sekarang kan sudah murah hanya 5 ribu yen/momenya,” tuturnya.

Sukses dengan half pearl, Robert pun mulai mengembangkan eksperimennya menjadi round pearl. Seperti peribahasa bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, Robert hampir tidak bisa menikmati hasil eksperimen usahanya. Setiap kali mendapatkan hasil, ia membelanjakannya untuk modal usaha selanjutnya. 

Hingga akhirnya antara 1982 dan 1983, bisnis budidaya kerang mutiaranya mulai nampak berkembang sangat pesat. Kapasitas produksi budidaya kerang yang dilakukan Robert saat itu mencapai 2-3 kilogram mutiara per tahun.

Sekitar 1986 dan 1987, Robert sempat kewalahan melakukan bisnisnya sendirian. Ia pun mencari orang untuk membantunya melakukan budidaya mutiara laut. “Saat itu saya punya karyawan sekitar 10-20 orang untuk membantu saya membudidayakan kerang mutiara,” tuturnya.

Barulah, pada tahun 1990-1991, Robert akhirnya melakukan ekspansi ke Surabaya. “Namun untuk lokasi budidaya tetap di Kepulauan Aru. Ia memerlukan materi untuk mendukung perusahaan budidaya kerang mutiara miliknya, dan semua itu bisa ia dapatkan di Surabaya. Surabaya juga menjadi gerbang pintu masuk ke Indonesia Timur.

Upaya untuk membangun pasar pun dikembangkan oleh Robert tidak hanya di pasar Indonesia. Ia berekspansi ke Hongkong, dan terus berkembang sampai ke pasar Jepang. Jepang merupakan sentra mutiara dunia yaitu di kota Kobe yang menjadi city of pearl. “Teman-teman ada kenalan dan kasih kenal kita di Jepang,” ujarnya.

Dari sisi pendidikan formal, Robert bukan tergolong orang yang sukses. Namun, itu tak membuatnya tak sukses pula dalam berbisnis. Hanya tamat hingga hingga kelas satu SMA, Robert sekarang malah bisa memiliki 7 perusahaan yang semuanya bergerak di bidang budidaya kerang mutiara dan juga budidaya ikan. Ketujuh perusahaan itu antara lain, PT Nusantara Pearl, PT Davin Mutiara, PT Yellu Mutiara, PT Morotai Marine Culture, PT Bima Budidaya Mutiara, PT Ameranus Mutiara, dan PT Nusa Ina Pearl.

Namun demikian, sebagai founding father perusahaan-perusahaannya, kini Robert hanya sekedar menjadi penasihat dari semua perusahaannya. Ia telah mewariskan bisnisnya pada anak-anaknya.

Robert mengatakan, mutiara yang diproduksinya tergolong mutiara jenis South Sea Pearl dengan warna kuning dan putih. 

Sekedar diketahui, diantara negara penghasil mutiara, Indonesia memang dikenal sebagai penghasil mutiara jenis South Sea Pearl.
Berdasarkan Asosiasi Budidaya Mutiara, dari total volume produksi mutiara South Sea Pearl sebesar 9.985 kg, Indonesia menempati posisi tertinggi yakni 45 %. Angka itu disusul Australia (32%), Filipina (17%), dan Myanmar (5%). 

Namun kalau soal harga, mutiara jenis ini berasal dari Indonesia berada pada peringkat ketiga (16,2 dollar AS per gram), setelah Australia (38,4 dollar AS per gram) dan Myanmar (25,5 dollar AS per gram). Ini berarti secara kuantitatif Indonesia berhasil memproduksi mutiara dalam jumlah banyak, namun berkualitas rendah.

Robert mengatakan, semua produk mutiaranya diekspor ke Hongkong dan Jepang. “Pasar terbesar ada di Jepang yang mencapai sekitar 70% dari pangsa pasar mutiara saya,” tuturnya.
Jepang merupakan negara tujuan utama ekspor mutiara dari Indonesia. Nilai ekspor mutiara Indonesia ke Jepang juga menempati urutan teratas yakni 48,17 %, diikuti Australia (35,52 %). Sedangkan provinsi pengekspor terbanyak justru ditempati Bali (34,3 %), Papua (19,73 %), Sulawesi Tenggara (17,06 %), dan DKI Jakarta (15,09 %). Namun dari sisi produksinya tentu berawal juga dari wilayah lain seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Lampung, terdiri dari 10 perusahaan Perusahaan Modal Asing (PMA), 22 swasta nasional, serta 6 PMDN.

Robert mengtakan mutiara yang diekspor dalam bentuk raw material saja. Ia mengatakan, nantinya mutiara-mutiara yang diekspornya akan dipoles lagi oleh pembelinya untuk dijadikan perhiasan. “Saya tidak menjual mutiara sampai ke bentuk perhiasan, hanya mutiaranya saja,” ujar pria penghobi olahraga golf ini.

Dikatakan, perusahaan-perusahaan Robert dalam satu tahun, mampu mengekspor mutiara hingga berjumlah satu ton ke Hong Kong dan Jepang. Dengan harga mutiara sekarang per mome-nya sekitar 5.000 yen (1 mome sama dengan 3,75 gram), Robert mengatakan total omzet mutiaranya bisa mencapai 16 juta dollar AS atau Rp 136,4 miliar setiap tahun.

Robert mengungkapkan pasar mutiara hingga sekarang masih sangat luas. Produksi mutiara di dunia, kata Robert, saat ini masih belum memenuhi kebutuhan. Oleh sebab itu persoalan yang dihadapi bisnis mutiara tidak terletak di pemasaran, justru persoalan terletak di masalah alam. “Inilah yang mempengaruhi bisnis ini,” ujar Robert.

Meskipun perjalanan bisnis terlihat seperti sangat enak, Robert mengaku juga pernah mengalami krisis. Diakuinya dulu perusahaannya ada sepuluh. Namun karena krisis tahun 2008, ia harus menutup tiga dari perusahaannya.

Robert mengatakan, menjadi pebisnis mutiara, seseorang harus mencintai alam. Kerang mutiara membutuhkan alam yang bersih. Oleh sebab itu ia mengatakan, tempat budidaya kerang mutiara yang cocok adalah di Indonesia Timur. Karena di lokasi ini rata-rata pantainya masih alami.

Oleh sebab itu, Robert sengaja untuk mempercayakan posisi manager di tiap lokasi pembudidayaan kepada pemuda daerah. Selain itu ia juga mempekerjakan para penduduk di wilayah pembudidayaan. Dengan begitu ia juga bisa meningkatkan perekonomian penduduk di wilayah usahanya.

“Pernah suatu saat, ada warga yang mencari ikan dengan menggunakan potasium. Akhirnya dalam jangka 2-3 hari, 99,9 persen kerang mutiara yang dibudidaya mati. Karena makanan mereka plankton juga mati kena potasium. Potasium juga membahayakan biota laut lainnya,”ujarnya.“Akhirnya apa, dalam 2-3 hari tersebut, budidaya kerang otomatis berhenti karena tidak ada yang dibudidayakan. Akibatnya ada sekitar 500 warga yang menjadi pekerja budidaya kehilangan pekerjaannya,” tuturnya. Untuk mengantisipasi PHK, Robert pun mengembangkan usaha budidayakan ikan kerapu.

Rober mengatakan, sekarang ini kondisi alam sudah banyak berubah. Karena itu dalam bisnis budidaya kerang mutiara ini tidak bisa dipastikan akan memproduksi berapa. “Semua itu tergantung alam, kita tidak bisa memprediksi tahun ini produksi berapa. Hal ini disebabkan karena kondisi alam yang sudah tidak bisa diprekdisi lagi. Oleh sebab itu kita perlu melestarikan alam,” pungkasnya. (01-AI)

Sumber: https://infopijar.wordpress.com
diunduh 02 januari 2016

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Ijin Pak saya memiliki Pearl Of Alah..mungkin berminat..ini nobwa saya.
081254417772

KAREL RIDOLOF LABOK (KARIBO). Diberdayakan oleh Blogger.

FOTO FACEBOOK