Jumat, 10 Juli 2015

SEJAK KELAS 6 SD, KAKEK-KU MEMPERKOSA-KU DI RUMAH KEPALA SEKOLAH-KU


SETELAH KAKI LUMPUH, KINI KORBAN TELAH MENINGGAL DUNIA

Dobo.AI,- Onisimus Lefuray: Kasusnya Belum Tuntas, Polisi Bilang Harus Ada Saksi; Korban Mengalami Gangguan Berat Kejiwaan, Dokter Bilang, Secepatnya Operasi di Ambon
Wajah hukum dan keadilan yang dirundung duka kembali terpampang dalam sandiwara elit, tatkala orang kecil merasa diperlakukan tidak adil dan setara, atas hak hukum mereka. Akankah wajah muram ini, kembali berseri karena hadirnya percikan harapan akan tegaknya keadilan dari tangan yang berwenang?.
Nona (bukan nama sebenarnya), gadis berusia 15 tahun, yang mengaku jadi korban perkosaan di Desa Maririmar sejak kelas 6 SD hingga saat ini sudah duduk di bangku SMP. Kepada orang tuanya, korban yang semula takut menceriterakan kejadian pemerkosaan dirinya itu, akhirnya mengakui bahwa dirinya dinodai oleh HK, yang tak lain, adalah orang tua asuh korban, yang juga masih memiliki hubungan keluarga dekat dengan korban.


 Onisimus Lefuray, ayah korban, yang bertandang ke kantor redaksi aru islands news, Sabtu (17/11) bertutur bahwa pelaku adalah keluarga dekatnya.
“Ayah pelaku, dan ibu saya adalah saudara. Jadi korban biasa memanggil pelaku sebagai kakek, makanya beta (saya-red) heran, pelaku sampe hati (tega-red) berbuat jahat par kacil (terhadap anak-red) yang sebenarnya, sama deng dia pung ana sandiri (sama saja dengan anaknya sendiri-red),” tanya Onisimus dengan lugunya.
Menurut Onisimus, peristiwa yang menimpa putrinya itu, tidak pernah diduga sama sekali. Bermula, ketika Onisimus dan isterinya Yosina Gatalay, mengijinkan korban tinggal bersama pelaku dan keluarga, karena percaya bahwa pelaku masih merupakan keluarga sendiri, dan isteri pelaku adalah seorang yang berprofesi sebagai guru dengan jabatan Kepala Sekolah, dimana korban bersekolah, sehingga orang tuanya berharap,  anaknya bisa dibimbing dengan baik, rajin belajar dan cepat pintar dibanding bila korban tetap tinggal bersama orang tua sendiri.
Setelah mendapat persetujuan orang tua, pelaku dan isterinya langsung memboyong korban tinggal bersama di rumah mereka. Dan selanjutnya, semua jalan baik-baik saja, sebelum akhirnya peristiwa ini diketahui. Onisimus juga mengatakan bahwa awalnya, korban takut dan tidak pernah ceriterakan kejadian yang menimpa dirinya, karena korban takut tidak lulus SD. Pihak keluarga baru mengetahui kabar buruk ini setelah jadi desas-desus teman sebaya korban. Mendengar itu, Onisimus beranikan diri untuk menanyai korban, ternyata, korban mengakui bahwa dirinya telah dinodai secara paksa oleh pelaku.

Korban mengaku kepada orang tuanya, bahwa malam itu di tahun 2012, isteri pelaku sedang pergi ke Kota Dobo, untuk pengurusan dinas, saat korban sedang tidur dengan anak-anak pelaku di kamar tidur anak, tiba-tiba pelaku datang, membawa korban ke kamar keluarga dan korban dipaksa melayani nafsu bejat pelaku. Tidak sekali itu saja, pelaku melancarkan aksi bejatnya. Keasyikan, pelaku melakukan perbuatan sama berulang kali terhadap korban. Korban juga mengaku, saat di kota Dobo, pelaku pernah membanting tubuh korban ke lantai dapur rumah hingga kepala  korban terbentur keras, setelah membanting korban, kemudian pelaku memasukkan jarinya kedalam celana dalam korban, untuk menyentuh dan mencocok kemaluan korban. Akibat perbuatan cabul dan tindak kekerasan itu, korban hingga saat ini, mengalami gangguan otak dan trauma berat. Masih menurut Onisimus, khusus untuk masalah trauma yang dialami korban, saat kasus ini dilaporkan ke Polres Kepulauan Aru, korban direkomendasikan untuk diambil visum oleh dokter. Dari hasil visum itu, dokter sempat memberi saran kepada pihak keluarga untuk segera memproses masalah, agar secepatnya bisa membawa korban ke Kota Ambon, untuk diobati lanjut. Dari penuturan Onisimus ini, dapat dipastikan bahwa korban mengalami trauma serius, sehingga saran dokter untuk pengobatan lanjut.

“Dia (pelaku-red) pernah banting kacil  di lantai dapur, baru kasih masu tangan di kacil pung dalam calana dalam, lalu kacil pu kapala juga tatoki di lantai, jadi skarang ini kacil su paleng seng suka dengar baribut. Waktu katong bawa kacil visum, dokter bilang capat urus masalah la bawa kacil pi ambon par operasi (pernah banting anak saya di lantai dapur, kepala anak saya terbentur di lantai, lalu pelaku masukkan tangannya ke dalam celana-dalam anak saya. Akibatnya, anak saya saat ini tidak suka dengar orang ribut-ribut, karena sudah terganggu kesehatannya. Waktu kami bawa anak saya untuk diambil visum, dokter bilang cepat urus masalah agar anak saya dibawa ke ambon untuk dioperasi,” keluh Onisimus.
Proses Hukum Kandas di Tangan Polisi
Onisimus juga mengeluhkan proses hukum yang tersendat. Polisi yang menangani kasus mengatakan bahwa proses harus hadirkan saksi. Onisimus mengaku kesulitan dalam hal menghadirkan saksi, karena menurutnya, dalam kasus ini tidak mungkin bisa ada saksinya. Namanya juga orang melakukan hubungan badan, dan dilakukan secara ilegal pula, seperti pencuri. Mana mungkin sorang yang rencana mencuri atau berbuat jahat, apalagi berhubungan badan, tidak mungkin bisa ajak orang lain untuk saksikan dia berbuat jahat?
“Polisi, Ibu Dewi Nanlohy, bilang harus hadirkan saksi. Lalu, beta (saya-red) mau ambil saksi dari mana? Ini kan kasus perkosa, urusan orang berhubungan badan macam pancuri (seperti pencuri-red),  tidak mungkin dia kasi tau (beritahu-red) atau ajak orang lain lihat dia punya perbuatan,” keluhnya.

Korban, akhirnya meninggal dunia, setelah lama menderita sakit. Walaupun telah tiada, kasusnya hingga kini belum juga diselesaikan oleh kepolisian. Dari hidup, sakit, hingga mati, tak ada keadilan yang boleh dinikmati oleh korban dan keluarganya, akibat polisi yang tidak serius menangani perkara ini.
 
Salah satu warga yang ikut mengantar Onisimus temui wartawan, menimpali, bahwa setahu dirinya, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang melibatkan korban anak dibawah umur, dan atau perempuan, hanya butuh saksi korban saja sudah cukup untuk diproses. Dirinya heran dengan sikap Polisi yang menunggu menghadirkan saksi. Padahal kan cukup dengan hadirkan korban saja, sudah cukup, kata sumber kesal.
“Setahu saya, kasus KDRT yang melibatkan korban anak dibawah umur atau perempuan, kan hanya butuh ‘saksi korban’ saja sudah cukup untuk diproses. Kenapa polisi harus menunggu saksi dihadirkan baru diproses lanjut”, jelas sumber dengan nada kesal.
Sumber juga meminta kepada Kapolres Pulau-pulau Aru, untuk segera memerintahkan petugasnya untuk memproses masalah ini dengan serius. Masih menurut sumber, pihak keluarga melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Kepulauan Aru, telah membuat laporan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Provinsi Maluku, dan pihak Komnas telah menyurati Kapolres Aru untuk memproses masalah secara tuntas, namun sayang, tidak juga diproses hingga korban meninggal dunia.
“Kami minta kepada Kapolres Pulau-pulau Aru,  agar segera memerintahkan anggotanya yang menangani kasus ini, memproses masalah secara serius. Jika tidak, kami akan laporkan juga Polisi ke Komnas HAM Provinsi Maluku untuk ditindak lanjuti,” tegas sumber. (AI-TIM)

Tidak ada komentar:

KAREL RIDOLOF LABOK (KARIBO). Diberdayakan oleh Blogger.

FOTO FACEBOOK