Minggu, 25 Januari 2015

POLA NELAYA ARU MENANGKAP UDANG

Laporan wartawan Aru Islands News, Karel Ridolof Labok, dari Desa Tungu, Kecamatan Pulau-pulau Aru.

Dobo, AI.-
Pagi-pagi benar, matahari memulas senyum dari celah awan yang bergerombol. Ada sedikit hiasan awan kelabu menggelayut mesra di tepian langit. Walau cuaca cerah yang terlihat, namun masih nampak ancaman kecil, pertanda akan datang hujan juga nantinya.
Saya jumpai beberapa perahu (sampan bermotor), sedang disiapkan oleh para pemiliknya, agak tergesa-gesa, seakan memburu waktu untuk secepatnya tiba di suatu tempat yang menjanjikan hasil tangkapan baik dipagi hari itu.

Penasaran, saya mendekati salah satu pemilik perahu, Nopan (21), begitu ia biasa disapa. Pria belia yang baru lulus SMU, menikah, dan memilih profesi nelayan itu, menyambut saya dengan senyum sumringah, sambil menyapa saya dengan panggilan "Bos".

Saya tanyai, mau kemana, dan Nopan menjawab sepintas, bahwa dirinya hendak pergi menangkap udang, karena kondisi alam pagi itu memberi tanda-tanda alam yang bisa dibaca nelayan sebagai pertanda bahwa udang sedang banyak tersedia di pesisir pantai, dan mudah ditangkap dengan hanya bermodalkan jaring seadanya. Di laut sekitar teluk yang cukup dalam memang tersedia udang dalam junlah banyak, lagi pula, ukurannya agak besar, tetapi hanya bisa ditangkap oleh nelayan lokal yang memiliki peralatan memadai. Hal ini rupanya merupakan kesulitan tersendiri bagi mereka yang memiliki peralatan tangkap seadanya seperti Nopan, dan kawan-kawanya, para nelayan lokal di Desa Tungu ini.

"Air kabur bagini, udang nai banya (air laut sedang keruh seperti ini, udang banyak yang naik ke permukaan laut-red), biasanya, kalo ukur udang pung musim nai, katong pake ukuran pohong mangga, kalo pohong mangga babuah sarat berarti udang juga banya (biasanya, kalau mau mengukur banyaknya udang di suatu nusim, kita bisa ketahui dari banyaknya jumlah buah mangga di pohonnya, jika pohon-pohon mangga berbuah lebat berarti udang juga banyak-red). Udang banya di dekat wakat, jadi bawa jaring biasa saja, su bisa. Kalo udang di lau, susah dapa kalo pake jaring biasa bagini, musti alat bagus baru bisa dapa udang basar di lau itu (udang cukup banyak di sekitar hutan bakau pesisir sini, jadi bawa jaring seadanya saja, sudah bisa. Kalau udang yang di laut dalam sana, harus pakai peralatan tangkap yang memadai baru bisa dapat udang yang besar di laut dalam itu-red), tutur Nopan.

Saya pun diterima setelah menawarkan diri saya untuk ikut serta dengan Nopan pergi menangkap udang. Saya buru-buru kembali ke rumah, ganti pakaian lalu kembali menemui Nopan, sambil membawa di tangan, kopi yang saya pindahkan dari gelas ke botol air mineral, karena tidak sempat saya habiskan di rumah, takut ditingal Nopan yang tergesa-gesa itu. Karena tidak membawa bekal makanan, saya sempat membeli rokok sebungkus untuk bekal seadanya, langsung oleh Nopan, diminta sebatang dan disulutnya, dan ditarik dalam-dalam sambil mengepulkan asapnya ke udara. Kami pun berangkat. Turut dalam perjalanan itu, selain saya dan Nopan, juga Ande, seorang anak buah Nopan, seorang remaja yang berhenti sekolah, sebelum sempat menyelesaikan studi kelas dua, SMP-nya, lalu kembali ke kampung untuk jadi nelayan. Desa Tungu ini, memang belum ada Anak kampungnya yang sekolah hingga sarjana. Baru di tahun 2014, ada dua orang adik-kakak yang masuk perguruan tinggi di Kota Ambon. Anak-anak usia sekolah lainnya, Nopan dan lima orang lainnya sempat lulus SMU tapi tidak lanjut kuliah, sementara anak lainnya, hanya memilih sekolah hingga SD, atau SMP, lalu berhenti dan kembali ke kampung untuk jadi nelayan, karena Sumber Daya Alam Laut, dan Pesisir Pantai di desa ini memang tersedia melimpah, sehingga membenarkan Teori Kutukan Sumber Daya Alam.

Hanya menempuh perjalanan 10 menit dari kampung, kami telah tiba di lokasi udang itu. Di lokasi, kami menjadi penghuni kesembilan. Rupanya ada delapan perahu nelayan telah tiba di lokasi, sebelum kami. Tanpa membuang waktu, sauh dilepas, Nopan dan Ande pun mulai beraksi menebar jaringnya. Hanya selang satu menit, sejak jaring ditebar, terlihat di sekitarnya, udang melompat kesana-kemari, menghindari jaring yang memang telah dideteksinya dengan sentuhan dua urat antena yang terletak di ujung moncongnya yang peka itu. Ini pertanda, udangnya cukup banyak. Jarak antara jaring nelayan yang satu dengan jaring nelayan lainnya, hanya terpaut 5 hingga 7 meter saja. Namun demikian, dalam kondisi musim udang yang belum sempurna seperti saat ini, para nelayan itu semuanya masih bisa memperoleh hasil tangkapan yang cukup. Rata-rata masing-masing nelayan bisa memperoleh 4 hingga 7 kg udang segar, dengan harga jual per kilogramnya berfariasi: 50.000 rupiah di kota Dobo, sementara jika dijual langsung kepada pedagang pengumpul yang membeli di kampung, 30.000 sampai 40.000 rupiah per kilogram.

Setelah dua kali menebar jala, kami memperoleh udang sekitar 3 kilogram. Saya yang setelah sibuk memotret aksi para nelayan, kembali ke darat untuk merokok, mendapati kulit sekujur tubuh saya yang gatal-gatal, saya garuk, 5 menit kemudian timbul benjolan memar akibat digigit oleh agas. Saya kemudian menyiapkan api dengan susah payah, akibat secara bersamaan dengan turunnya hujan. Setelah api menyala, agas nakal itu, tidak berani mendekati saya lagi. Setelah menunggu sekitar 30 menit, Ande dan Nopan yang ingin merokok, datang membawa wadah plastik berisikan puluhan udang segar yang masih menggelepar dalam wadah itu, untuk dibakar dan dimakan sebagai santapan makan siang kami, karena memang kami tidak membawa ransum makanan apapun dari rumah ke lokasi udang itu.

Udang segar yang menggelepar, perut yang lapar, bara api yang sudah sedia, semuanya saling mengisi kebutuhannya. Pass... kami kemudian menusuk udang-udang itu pada beberapa bilah bambu yang telah saya bentuk menjadi binting sate. Hanya dalam beberapa menit saja, udang-udang yang memerah cepat itu telah matang, menyeruakkan aroma khas udang bakar yang bikin penasaran ingin dilahap secepatnya. Tanpa buang waktu, kami pun menyantap makan siang a-la nelayan lokal Tungu, sate udang segar bakar....hmmmm nikmatnyaaaa...

seiring dengan posisi air pasang yang makin surut, udang pun makin langka. Kami lalu berkemas, dan pulang ke kampung. Rasa lelah, hilang terganti rasa puas, bisa sempat menikmati waktu dan moment luar biasa, yang saya sebut sebagai "sehari bersama nelayan kampung tungu", yang sudah pasti tidak dapat dialami oleh penduduk di kota...(AI-01).

Tidak ada komentar:

KAREL RIDOLOF LABOK (KARIBO). Diberdayakan oleh Blogger.

FOTO FACEBOOK