Oleh :Zainal Arifin*
*Wartawan Surabaya Post
*Wartawan Surabaya Post
SCREENSHOT TULISAN DI https://infopijar.wordpress.com (editor Karibo) |
ARUISLANDSnew.- Robert Sukendy benar-benar memiliki mental dan jiwa sebagai
pengusaha. Pria yang dikenal sebagai pengusaha mutiara ini membesarkan
bisnis mutiaranya berawal dari rasa ingin tahu yang sangat besar dan
semangat belajar usaha budidaya mutiara secara otodidak. Tak hanya itu,
dengan berbisnis mutiara, Robert juga melestarikan lingkungan.
“Hanya orang yang mau kerja keras yang mampu membudidayakan kerang
mutiara ini,” ujar Robert Sukendy saat ditemui Surabaya Post di
kantornya di Surabaya, beberapa waktu lalu.
Pria yang kini telah berusia 61 tahun ini mengatakan, semua bisnisnya
pada awalnya dilakukannya seorang diri. Ia mengaku kunci sukses untuk
budidaya kerang mutiara adalah kerja keras, kerja keras dan kerja keras.
Berawal dari rasa ingin tahu yang besar bagaimana proses terciptanya
mutiara, beberapa puluh tahun lalu, Robert serius bertanya ke sana
kemari pada sejumlah kenalannya di Kepulauan Aru, Maluku, tempat dimana
banyak dilakukan budidaya mutiara.
“Selama 40 tahun lalu saya tinggal di Kepulauan Aru, di situ terdapat
budidaya mutiara oleh perusahaan Jepang. Saya lihat dan mulai tertarik
bagaimana orang membuat mutiara. Saya lantas bertanya-tanya kepada teman
bagaimana proses terciptanya mutiara,” ujar pria kelahiran Tual Maluku
Tenggara ini.
Karena melihat rasa ingin tahu Robert yang begitu besar, salah
seorang temannya dari Perancis pun memberinya buku cara budidaya kerang
mutiara. Tak hanya itu, kala itu Robert juga dimotivasi oleh teman
lainnya. “Namanya Daniel de Cooper. Ia beri saya buku cara untuk
budidaya kerang mutiara. Ia bilang kalau orang Mikimoto (Jepang) bisa,
kenapa saya tidak,” ujar bapak lima anak ini.
Berawal dari buku pemberian teman dan kebulatan tekadnya, Robert pun
mulai bereksperimen menciptakan mutiara. Pertama kali ia bereksperimen
membuat half pearl. Eksperimennya itu baru bisa dipanen setelah satu
tahun berjalan. Hasil panen pertamanya ia gunakan sebagai modal untuk
bereksperimen membuat mutiara lagi.
Robert yang kini lebih sibuk mengurusi hotelnya ini menceritakan
kalau eksperimen pertamanya sama sekali dilakukan tanpa modal. Ia
mengaku modalnya hanya dengan mengambil kerang mutiara langsung dari
laut. “Saat itu kerang mutiara masih banyak di laut, kalau sekarang kan
sudah jarang,” ujar pemilik sebuah hotel di daerah asalnya, Maluku.
Pada saat panen pertama, kata Robert, harga mutiara jenis South Sea
yang paling banyak dihasilkan di Indonesia, harganya lumayan tinggi.
“Harganya waktu itu mencapai 50.000 yen (Rp 5,4 juta dengan satu yen
setara Rp 108/momenya, kalau sekarang kan sudah murah hanya 5 ribu
yen/momenya,” tuturnya.
Sukses dengan half pearl, Robert pun mulai mengembangkan
eksperimennya menjadi round pearl. Seperti peribahasa bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian, Robert hampir tidak bisa menikmati
hasil eksperimen usahanya. Setiap kali mendapatkan hasil, ia
membelanjakannya untuk modal usaha selanjutnya.
Hingga akhirnya antara 1982 dan 1983, bisnis budidaya kerang
mutiaranya mulai nampak berkembang sangat pesat. Kapasitas produksi
budidaya kerang yang dilakukan Robert saat itu mencapai 2-3 kilogram
mutiara per tahun.
Sekitar 1986 dan 1987, Robert sempat kewalahan melakukan bisnisnya
sendirian. Ia pun mencari orang untuk membantunya melakukan budidaya
mutiara laut. “Saat itu saya punya karyawan sekitar 10-20 orang untuk
membantu saya membudidayakan kerang mutiara,” tuturnya.
Barulah, pada tahun 1990-1991, Robert akhirnya melakukan ekspansi ke
Surabaya. “Namun untuk lokasi budidaya tetap di Kepulauan Aru. Ia
memerlukan materi untuk mendukung perusahaan budidaya kerang mutiara
miliknya, dan semua itu bisa ia dapatkan di Surabaya. Surabaya juga
menjadi gerbang pintu masuk ke Indonesia Timur.
Upaya untuk membangun pasar pun dikembangkan oleh Robert tidak hanya
di pasar Indonesia. Ia berekspansi ke Hongkong, dan terus berkembang
sampai ke pasar Jepang. Jepang merupakan sentra mutiara dunia yaitu di
kota Kobe yang menjadi city of pearl. “Teman-teman ada kenalan dan kasih
kenal kita di Jepang,” ujarnya.
Dari sisi pendidikan formal, Robert bukan tergolong orang yang
sukses. Namun, itu tak membuatnya tak sukses pula dalam berbisnis. Hanya
tamat hingga hingga kelas satu SMA, Robert sekarang malah bisa memiliki
7 perusahaan yang semuanya bergerak di bidang budidaya kerang mutiara
dan juga budidaya ikan. Ketujuh perusahaan itu antara lain, PT Nusantara
Pearl, PT Davin Mutiara, PT Yellu Mutiara, PT Morotai Marine Culture,
PT Bima Budidaya Mutiara, PT Ameranus Mutiara, dan PT Nusa Ina Pearl.
Namun demikian, sebagai founding father perusahaan-perusahaannya,
kini Robert hanya sekedar menjadi penasihat dari semua perusahaannya. Ia
telah mewariskan bisnisnya pada anak-anaknya.
Robert mengatakan, mutiara yang diproduksinya tergolong mutiara jenis South Sea Pearl dengan warna kuning dan putih.
Sekedar diketahui, diantara negara penghasil mutiara, Indonesia
memang dikenal sebagai penghasil mutiara jenis South Sea Pearl.
Berdasarkan Asosiasi Budidaya Mutiara, dari total volume produksi
mutiara South Sea Pearl sebesar 9.985 kg, Indonesia menempati posisi
tertinggi yakni 45 %. Angka itu disusul Australia (32%), Filipina (17%),
dan Myanmar (5%).
Namun kalau soal harga, mutiara jenis ini berasal dari Indonesia
berada pada peringkat ketiga (16,2 dollar AS per gram), setelah
Australia (38,4 dollar AS per gram) dan Myanmar (25,5 dollar AS per
gram). Ini berarti secara kuantitatif Indonesia berhasil memproduksi
mutiara dalam jumlah banyak, namun berkualitas rendah.
Robert mengatakan, semua produk mutiaranya diekspor ke Hongkong dan
Jepang. “Pasar terbesar ada di Jepang yang mencapai sekitar 70% dari
pangsa pasar mutiara saya,” tuturnya.
Jepang merupakan negara tujuan utama ekspor mutiara dari Indonesia.
Nilai ekspor mutiara Indonesia ke Jepang juga menempati urutan teratas
yakni 48,17 %, diikuti Australia (35,52 %). Sedangkan provinsi
pengekspor terbanyak justru ditempati Bali (34,3 %), Papua (19,73 %),
Sulawesi Tenggara (17,06 %), dan DKI Jakarta (15,09 %). Namun dari sisi
produksinya tentu berawal juga dari wilayah lain seperti Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Lampung, terdiri dari 10
perusahaan Perusahaan Modal Asing (PMA), 22 swasta nasional, serta 6
PMDN.
Robert mengtakan mutiara yang diekspor dalam bentuk raw material
saja. Ia mengatakan, nantinya mutiara-mutiara yang diekspornya akan
dipoles lagi oleh pembelinya untuk dijadikan perhiasan. “Saya tidak
menjual mutiara sampai ke bentuk perhiasan, hanya mutiaranya saja,” ujar
pria penghobi olahraga golf ini.
Dikatakan, perusahaan-perusahaan Robert dalam satu tahun, mampu
mengekspor mutiara hingga berjumlah satu ton ke Hong Kong dan Jepang.
Dengan harga mutiara sekarang per mome-nya sekitar 5.000 yen (1 mome
sama dengan 3,75 gram), Robert mengatakan total omzet mutiaranya bisa
mencapai 16 juta dollar AS atau Rp 136,4 miliar setiap tahun.
Robert mengungkapkan pasar mutiara hingga sekarang masih sangat luas.
Produksi mutiara di dunia, kata Robert, saat ini masih belum memenuhi
kebutuhan. Oleh sebab itu persoalan yang dihadapi bisnis mutiara tidak
terletak di pemasaran, justru persoalan terletak di masalah alam.
“Inilah yang mempengaruhi bisnis ini,” ujar Robert.
Meskipun perjalanan bisnis terlihat seperti sangat enak, Robert mengaku juga pernah mengalami krisis. Diakuinya dulu perusahaannya ada sepuluh. Namun karena krisis tahun 2008, ia harus menutup tiga dari perusahaannya.
Robert mengatakan, menjadi pebisnis mutiara, seseorang harus
mencintai alam. Kerang mutiara membutuhkan alam yang bersih. Oleh sebab
itu ia mengatakan, tempat budidaya kerang mutiara yang cocok adalah di
Indonesia Timur. Karena di lokasi ini rata-rata pantainya masih alami.
Oleh sebab itu, Robert sengaja untuk mempercayakan posisi manager di
tiap lokasi pembudidayaan kepada pemuda daerah. Selain itu ia juga
mempekerjakan para penduduk di wilayah pembudidayaan. Dengan begitu ia
juga bisa meningkatkan perekonomian penduduk di wilayah usahanya.
“Pernah suatu saat, ada warga yang mencari ikan dengan menggunakan potasium. Akhirnya dalam jangka 2-3 hari, 99,9 persen kerang mutiara yang dibudidaya mati. Karena makanan mereka plankton juga mati kena potasium. Potasium juga membahayakan biota laut lainnya,”ujarnya.“Akhirnya apa, dalam 2-3 hari tersebut, budidaya kerang otomatis berhenti karena tidak ada yang dibudidayakan. Akibatnya ada sekitar 500 warga yang menjadi pekerja budidaya kehilangan pekerjaannya,” tuturnya. Untuk mengantisipasi PHK, Robert pun mengembangkan usaha budidayakan ikan kerapu.
Rober mengatakan, sekarang ini kondisi alam sudah banyak berubah.
Karena itu dalam bisnis budidaya kerang mutiara ini tidak bisa
dipastikan akan memproduksi berapa. “Semua itu tergantung alam, kita
tidak bisa memprediksi tahun ini produksi berapa. Hal ini disebabkan
karena kondisi alam yang sudah tidak bisa diprekdisi lagi. Oleh sebab
itu kita perlu melestarikan alam,” pungkasnya. (01-AI)
Sumber: https://infopijar.wordpress.com
diunduh 02 januari 2016
1 komentar:
Ijin Pak saya memiliki Pearl Of Alah..mungkin berminat..ini nobwa saya.
081254417772
Posting Komentar